Hal ini diungkapkan Koswara setelah memantau pengelolaan sampah di beberapa lokasi, yaitu RW 19 Kelurahan Antapani Tengah Kecamatan Antapani, RW 1 Kelurahan Sukamiskin Kecamatan Arcamanik, dan Kantor Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong, Minggu (13/10/2024).
"Sudah ada kelurahan yang bebas sampah. Nanti, ini akan kita jadikan target agar lurah lainnya bisa mencontoh. Di beberapa kelurahan, sudah berjalan berbagai inisiatif seperti pembuatan kompos, pengolahan sampah menjadi pelet, dan pemanfaatan sampah untuk tanaman," ujarnya.
Koswara menekankan pentingnya sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Menurutnya, pengelolaan sampah di tingkat kelurahan tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terhubung dengan sistem yang lebih besar di tingkat kota bahkan antarwilayah.
"Sampah yang tidak bisa dikelola sendiri oleh kelurahan harus disatukan untuk dikelola bersama, baik itu melalui sistem antar-RW atau dengan kolaborasi ekonomi lainnya," tambahnya.
Ia menjelaskan, sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi akan memudahkan proses kapitalisasi sampah menjadi nilai ekonomi. Misalnya, jika ada pengusaha maggot yang membutuhkan satu ton sampah organik per hari, maka kebutuhan ini tidak mungkin dipenuhi oleh satu RW saja.
Sistem integrasi akan memungkinkan beberapa RW untuk bekerja sama dalam memenuhi permintaan tersebut.
"Begitu juga dengan kebutuhan kompos yang besar, kita perlu menyatukan beberapa wilayah untuk mencapai jumlah yang diinginkan. Dengan menggabungkan kekuatan ini, sampah bisa menjadi peluang ekonomi," jelasnya.
Meski demikian, ia menyadari bahwa cara pengelolaan sampah di setiap kelurahan belum merata. Untuk itu, ia mengusulkan penerapan standar minimum dalam pengelolaan sampah baik organik maupun anorganik.
"Bukan berarti kita harus menstandarisasi semua hal, tetapi setiap lingkungan perlu memiliki acuan yang sama. Misalnya, berapa lama waktu yang diperlukan untuk maggot mengolah satu kilogram sampah organik. Dengan begitu, kita bisa menghitung penyerapan sampah di setiap wilayah," terangnya.
Selain fokus pada pengelolaan sampah organik, Koswara menargetkan pengurangan residu sampah yang tidak dapat diolah, yang nantinya akan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Berdasarkan data yang ada, persentase residu di berbagai wilayah berkisar antara 11 persen hingga 30 persen.
"Kita ingin residu yang dikirim ke TPA sesedikit mungkin. Jika ada alat yang dapat membantu mengurangi residu, Pemkot akan membantu menyediakannya. Namun, jika memang tidak ada alternatif lain, barulah residu tersebut dibuang ke TPA," katanya.
Menurutnya, Pemkot Bandung berusaha untuk memangkas proses-proses yang tidak efisien di tempat pengolahan sampah agar penanganan sampah dapat dilakukan secara optimal di tingkat lingkungan sebelum residu akhirnya dikirim ke TPA.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan seluruh komponen masyarakat di Bandung, mulai dari tingkat kelurahan hingga kota, dapat berkolaborasi dalam mengatasi masalah sampah.
Ia berharap agar berbagai inisiatif pengelolaan sampah dapat terus dikembangkan dan diterapkan secara luas, sehingga sampah tidak hanya dianggap sebagai masalah, tetapi juga peluang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
"Inilah tantangan kita bersama, bagaimana menciptakan sistem pengelolaan sampah yang bukan hanya efektif tetapi juga ekonomis," ujarnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya memilah sampah sejak dari sumber. Dengan tagline "tidak dipilah tidak diangkut."
Koswara juga berharap masyarakat dapat lebih disiplin dalam memilah sampah, sehingga proses pengangkutan dan pengolahan dapat lebih efisien dan menekan volume sampah yang dikirim ke TPA.
Ia pun memberikan instruksi kepada aparat kelurahan dan ketua satuan tugas terkait untuk memberikan laporan mengenai kondisi terkini wilayahnya dan menyusun rencana intervensi.
Koswara optimis, dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, pengelolaan sampah di Kota Bandung dapat mencapai hasil yang lebih baik.
Editor: Redaksi Zilenialnews
Sumber: Humas Bandung