Image by jcomp on Freepik |
"Vi, Nikah yuk!"
Aku terkejut mendengar ajakan Nathan, tatapannya tulus. Senyum laki-laki itu benar-benar meneduhkan dan penuh arti. Namun, hatiku terasa sakit dan sesak secara bersamaan. Perlahan buliran bening yang sembunyi di pelupuk mata, mengalir menganak bak sungai.
Bukannya aku menolak ajakan tersebut. Hanya saja, sebuah perbedaan serta tembok tinggi antara aku dan Nathan terlintas begitu saja. Aku tahu Nathan tulus mengatakan itu, bahkan ajakan menikah itu sudah lima kali Nathan lontarkan.
"Kenapa? Kamu merasa bahwa kita enggak bisa bersama, ya?" Nathan menunduk, agar leluasa menatap wajahku yang sedang menyembunyikan basah di pipi.
Kepalaku mengangguk mengiakan. Mulutku tercekat, berat rasanya untuk sekadar berucap membalas ucapan Nathan.
"Davina ...!"
Suara Nathan terdengar lembut, perlahan tangannya mengangkat daguku. Sehingga tatapan kami berdua saling beradu. Menyiratkan pengharapan serta keraguan.
"Aku serius sama kamu. Aku bisa pindah agama ke agamamu, tapi setelah aku mualaf ... tolong ajari aku dan tuntun aku, ya," katanya mengulas senyum kecil.
[ Baca juga: Tak Sejalan ]
Aku menyeka basah di pipi, menarik sudut bibir ke atas membentuk senyuman kecil meski dipaksakan. Mata kembali menatap dalam laki-laki itu. Berulang kali aku sudah mencoba menjelaskan kepada Nathan tentang perbedaan mereka. Namun, Nathan seolah-olah tak mendengar dan malah terus mengajak hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Padahal dulu, aku dan dia hanya sebatas teman. Tidak lebih dari itu.
"Nath, aku enggak mau merebut kamu dari Tuhanmu."
Nathan sama sekali tak tersinggung, dia malah tersenyum menanggapi ucapanku.
"Itu urusanku dengan Tuhanku, Vi. Aku memiliki hak dan mengambil keputusan yang menurutku benar."
"Dan kamu enggak seharusnya mengorbankan agamamu demi cintamu itu. Kamu malah memilih duakan Tuhanmu, hanya karena cinta sama aku."
Aku mencoba bersikap tenang, meskipun perasaanku terasa campur aduk. Rasa sesaknya benar-benar menusuk ulu hati. Mau bagaimanapun, aku dan Nathan berbeda. Dinding kita teramat tinggi, aku tidak mau Nathan mengkhianati Tuhannya demi cinta semata.
"Kamu tahu enggak kenapa Tuhan mempertemukan kita dan buat kita berteman, sampai tanpa kita sadari cinta haram itu muncul dengan sendirinya?" Lama saling berdiam, aku bertanya. Nathan masih menatapku, sorot matanya hangat nan meneduhkan.
"Kenapa?" Nathan bertanya ragu, suaranya terdengar tercekat. Mungkin ini kelima kalinya dia ditolak olehku.
"Karena Tuhan pengen tahu, di antara kita siapa yang akan memilih. Apakah umat-Nya yang dicintai atau Sang Pencipta-Nya."
[ Baca Juga: Kasta yang Berbeda ]
Nathan tertawa sumbang, mungkin sudah mulai menerima kenyataan bahwa mereka berdua itu berbeda. Terlebih lagi, keluarga Nathan merupakan keluarga yang kuat dalam beragama. Begitupun dengan diriku, haram hukumnya. Perempuan beragama islam tidak boleh menikah dengan laki-laki yang bukan agama islam. Mau bagaimanapun mereka tetap tidak akan bisa bersatu, antara restu keluarga, serta harus mengkhianati Tuhan-Nya sendiri.
"Sakit banget, ya. Jatuh cinta sama orang yang berbeda dengan kita," gumamnya menengadah langit sore dengan lekat.
Matanya menerawang jauh, pikiran sama-sama berkecamuk. Antara keraguan, perjuangan, dan cinta.
"Cinta beda agama itu memang sakit, Nath. Tapi, lebih sakitnya lagi mengkhianati agamanya cuma pengen bisa sama orang yang dicintai," kataku, berusaha menguatkan hatinya. Walaupun aku sadar bahwa hati Nathan sekarang sedang tidak baik-baik saja.
Tiba-tiba keheningan menyelimuti sekitar kami. Saling sibuk dengan pemikiran masing-masing. Memilah keputusan apa yang tepat untuk ke depannya agar tidak menyesal di kemudian hari.
"Tapi, Davina. Aku benar-benar serius sama kamu. Aku rela berpindah agama, bahkan aku rela belajar mendalami agamamu. Soal keluargaku, mereka setuju demi kebahagiaanku. Jadi, aku mohon sama kamu, tolong pertimbangkan pernyataan cintaku ini." Nathan kembali bersuara, melirikku dari samping. Sorot matanya kian menghangat kala intensitas cahaya senja menyorotnya.
[ Baca Juga: Hanya Mampu Memandangmu ]
Sementara aku, hanya bisa bergeming. Memikirkan dan mencerna ucapan itu secara perlahan. Dari sorot mata Nathan, dia tulus dan serius, cuma akunya saja yang meragu. Sekalinya dapat seseorang yang membuatku nyaman dan sehati, malah berbeda. Amin kita sama, tetapi iman kita benar-benar berbeda.
"Kalau memang kamu serius dengan ucapanmu. Bahwa kamu berpindah keyakinan demi dirimu sendiri dan ingin mendalami agamaku. Maka, carilah bekal dan ilmu agama islam sebanyak-banyaknya dalam rentang waktu satu tahun. Kalau bekal dan ilmumu sudah cukup, masih yakin ingin melanjutkan hubungan denganku, kamu bisa datang kepadaku, dan menikahiku."
Kini Nathan yang bergeming. Laki-laki itu tampak sedang berpikir.
"Itu artinya kamu gantung hubungan kita?" Nathan menatap penuh tanya, sepertinya laki-laki itu takut kalau nanti hubungannya malah menggantung.
"Aku tidak menggantung, Nathan. Aku hanya memberi tantangan, apakah kamu sanggup atau tidak. Dan kalau kamu tidak sanggup, kamu bisa mencari seorang pendamping yang seiman. Aku ikhlas melepaskanmu," ujarku.
Tubuh Nathan menegak, berdiri dari tempat duduknya. Berhadapan denganku, menutupi sorot cahaya senja di hadapanku sembari tersenyum senang.
[ Baca Juga: Bertepuk Sebelah Tangan ]
"Aku menerima tantanganmu. Akan kubuktikan bahwa aku bukan hanya jatuh cinta sama kamu. Melainkan jatuh cinta dengan agamamu juga. Aku akan mencari ilmu dan bekal, mendalami agama islam, dan aku akan menikahimu. Itu janjiku kepadamu, Daviani. Tolong, tunggu aku lagi, dan mohon bantuannya untuk ke depannya."
Aku tersenyum kecil melihat bahagia di wajah Nathan. Mata terus mengawasi laki-laki itu yang kini sedang berlari ke arah lapangan, mengikuti anak-anak remaja bermain bola. Namun, hatiku masih meragu, takut kalau nanti Nathan sudah mendapatkan bekal serta ilmunya, dia malah bukan jodohku. Astagfirullah, aku malah meragukan takdir Tuhanku sendiri. Ya Allah, ampunilah hambamu, hamba yakin bahwa keputusan hamba ialah benar. Semoga saja Nathan mampu melewatinya.
Penulis: Silvi Maelani