|
Sumber: Freepik |
‘Perawan Tua’. Dua kata yang memekikkan telinga pun terus aku dengar dari ratusan bibir orang. Dari bibir bergincu, pun yang tak bergincu. Dan ya, dua kata itu sepertinya sudah melekat pada diriku. Entah sampai kapan julukan itu akan lesap dari hidupku. Namun, yang jelas untuk tahun ini aku harus mengumpulkan kesabaran yang lebih banyak lagi dengan bersandar keikhlasan, juga berpegang teguh pada takdir Allah.
Hari ini, Sabtu tanggal 27 Februari 2023, usiaku sudah memasuki angka ke 35 tahun. Bagiku angka 35 adalah angka yang seharusnya sudah bisa memeluk masa depan dan memasuki lembaran baru untuk menemukan jati diri hidup sesungguhnya, yakni memiliki pendamping hidup untill Jannah.
Menikah adalah sebuah kata yang begitu sakral dan membutuhkan bekal untuk mengarunginya. Menikah merupakan salah satu impian bagi setiap orang. Begitu juga memiliki pasangan hidup adalah wujud dari sebuah pengharapan dalam rentan usia yang sudah mencapai masa matang. Namun, itu adalah sebuah pengharapan yang suatu saat bisa saja sirna. Manusia memang punya segudang harap dan bisa berencana, tetapi Allah yang akan menentukan.
Seperti halnya aku. Aku sudah berusia 35 tahun, tetapi takdir Allah masih belum mengizinkanku untuk memiliki seorang pasangan hidup. Butuh keikhlasan dan tebal telinga untuk menghadapi semua sibiran tetangga, teman, juga orang terdekat. Aku yakin Allah sudah menyiapkan pasangan hidup yang terbaik. Aku juga yakin, jika Allah tengah menyiapkan sekotak hadiah yang isinya kebahagiaan, yang nantinya bisa kubuka dan kunikmati bersama pasangan hidupku. Entah itu kapan, aku pun tak tahu.
Terdengar suara ketukan pintu yang selanjutnya terdengar pula panggilan dari perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku. “Ria, Ria ...,” panggil ibu dari balik pintu kamarku.
“Ya, Bu?” sahutku dari dalam kamar dan lekas membereskan buku harianku. Kupercepat langkah kaki untuk menggapai kusen pintu. “Ada apa, Bu?” tanyaku menimpali panggilan ibu tadi.
“Bude Salha bilang, kalau dia akan mengenalkanmu dengan keponakan suaminya. Ayo, buruan kamu siap-siap, lalu pergi ke Grande Café,” jelas ibuku sembari menarik tanganku ke dalam kamar. Saking antusiasnya, beliau juga tak lupa memilihkan baju yang akan kupakai.
“Aduh, iya, Bu, sabar. Oh ya, apa Ibu yakin kalau keponakan Pakde Hasan bakalan suka dan bisa menerima keadaanku? Dengan segala kekuranganku? Aku tidak yakin, Bu, dia bakal bisa menerimaku dengan segala kekuranganku ini,” tanyaku tak percaya diri.
Aku berusaha menjelaskan tentang ketidakmungkinan yang akan terjadi dan terus berulang setiap kali aku dikenalkan kepada seseorang. Dari sanak saudara, teman dekat, atau bapak ibuku sendiri.
Aku menghela napas panjang. Sesekali aku menyelipkan puluhan keyakinan, barang kali kemungkinan hari ini Allah telah mendatangkan jodoh untukku melalui Bude Salha dan Pakde Hasan.
Tiba-tiba tangan yang selalu menenangkanku di saat ada masalah berusaha menggapai bahuku. "Sudahlah, jangan terlalu memikirkan kekuranganmu. Setiap orang itu punya kekurangan. Makanya, Allah menghadirkan pasangan sebagai pelengkap untuk melengkapi kekuranganmu, Ria. Kamu harus yakin, ya, bahwa Allah akan menyiapkan rencana yang indah untuk kamu dan kehidupanmu. Insya Allah, jika Allah menakdirkan. Ibu akan terus berdoa agar kamu bisa bahagia, Nak."
Ibu berusaha menenangkanku, walau sebenarnya beliau sendiri tidak yakin. Namun, sebagai orang tua, beliau harus tetap memberikan penguatan kepada anaknya. Sekalipun hasilnya akan nihil.
Mendengar perkataan ibu tadi, hatiku terasa tersiram embun pagi di pagi hari. Hati yang beberapa detik lalu masih semrawut, kini mulai sedikit tertata rapi kembali. Masya Allah sekali, doa yang selalu ibu pinta selalu mengenai hal baik. Aku berharap, semoga doa ibu segera terkabul.
...........................................
Tepat pukul 16.00 WIB, aku sampai di Grande Cafe. Grande Cafe ini merupakan salah satu kafe yang terletak di Kecamatan Prigen, Jawa Timur. Dengan nuansa pegunungan dan pemandangan yang indah, kafe ini selalu rame. Apalagi saat weekend, pengunjung akan lebih ramai dari biasanya. Suasana yang sejuk, pemandangan indah yang bertatapan langsung dengan pegunungan, juga hijau alam yang masih perawan. Sungguh menambah keasrian dan kemolekan dari Grande Cafe ini.
Setelah langkah kaki menapak di beranda Grande Cafe, aku pun bergegas mencari meja nomor 15. Kulihat Pakde Hasan dan Bude Salha sudah menempati meja itu. Namun, anehnya, laki-laki yang akan dikenalkan denganku masih belum menampakkan batang hidungnya.
Kuhampiri lalu kusapa Pakde dan Bude yang sudah menyadari kehadiranku, “Assalamu'alaikum. Apa kabar Pakde, Bude?” Sapaku sembari mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak. “Alhamdulillah, baik, Ria. Ayo, duduk di samping Bude,” ajak Bude Salha.
“Bagaimana kuliah dan kerjaan kamu, Ria?” tanya Pakde Hasan.
“Alhamdulillah, dengan ijin Allah, Ria sudah menyelesaikan gelar S2, Pakde. Sekarang masih lanjut S3. Doakan saja Pakde, Bude, semoga berjalan lancar. Kalau untuk kerjaan, Alhamdulillah masih tetap mengajar,” jawabku.
“Pasti. Kami pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu, Ria,” ujar Pakde Hasan.
“Kamu mau pesan apa, Ria?” sahut Bude Salha.
“Aku samaan aja dengan Bude,” jawabku. Kemudian aku bangkit dari dudukku, “Bude, Pakde, aku pamit ke toilet sebentar," kataku berpamitan. Kunaiki anak tangga Cafe Grande yang sama sekali tidak tinggi, hanya tiga tingkat saja.
Saat di toilet, aku berpapasan dengan seorang laki-laki dengan baju berwarna hitam putih disertai motif kotak-kota, bercelana hitam dengan memakai sepatu putih. Kulitnya sedikit hitam, tapi manis untuk dipandang. Hidungnya yang tak terlalu mancung, tetapi tetap mendukung ketampanannya.
Sedetik kemudian, terdengar suara tubrukan yang tak begitu keras, tetapi sangat terasa. Lenganku tak sengaja membentur lengan kanan seorang laki-laki tadi.
“Aduh, maaf, Mas, saya tidak sengaja,” ujarku sembari menundukkan kepala.
“Duh, Mbak. Lain kali kalau jalan lihat-lihat, dong! Masa, ya, badan segede gini enggak kelihatan. Gimana, sih?” Suara laki-laki itu disertai dengan nada tinggi, tanda bahwa dirinya sedang marah. Wajahnya pun terlihat masam.
“Iya, Mas, maafkan saya. Saya kurang hati-hati tadi,”
Aku masih menundukkan kepala, tak berani menatapnya secara langsung. Aku tahu, kalau aku salah, tetapi aku tak sengaja. Gumaman terus kulontarkan dalam hati.
Tanpa ada sepatah kata apa pun, laki-laki tersebut langsung pergi begitu saja. Yang terlihat hanya ada raut amarah di wajahnya. Semoga saja dia memaafkanku. Ya, semoga, kuharap begitu.
Sepuluh menit berlalu, aku pun bergegas menuju Pakde dan Bude. Sepertinya aku terlalu lama membuat mereka menunggu. Dari kejauhan, terlihat ada lelaki yang turut nimbrung bersama Pakde dan Bude. Mungkin itulah lelaki yang akan dikenalkan denganku. Kulangkahkan kaki lebih cepat agar lekas sampai di meja nomor 15.
“Pakde, Bude.” Aku menyapa Pakde dan Bude dengan senyum tipis. Sontak lelaki di samping Pakde melihatku kaget.
“Kamu?” Wajah lelaki tersebut tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihatku.
“Dia ini Ria, Roni. Gadis yang sempat Bude ceritakan minggu lalu ke kamu, keponakan Bude,” timpal Bude Salha menjelaskan.
“Jadi, ini keponakan Bude Salha yang kemarin diceritakan dan mau dikenalkan denganku?”
Wajahku mengernyit dengan alis sedikit menyatu saat mendengar penuturan lelaki yang Bude sebut dengan nama Roni.
Aduh, apes banget, sih, aku hari ini. Udah dibikin bad mood sama itu cewek yang modelannya kayak begitu. Sumpah, jauh banget dari yang kukira. Itu sih bukan level aku. Yang aku mau bukan cewek abal-abal seperti itu. Jangankan untuk berkenalan, berbicara dengannya saja, aku enggak banget. Beruntung ada Pakde Hasan, kalau nggak sudah pasti aku tinggalkan tempat ini, gumam Roni dalam hati.
“Hai, Ria,” sapanya singkat, tanpa dibalas olehku.
“Pakde, aku ingin bicara sebentar, boleh? Kita ke sana ya?”
Kudengar Roni meminta Pakde untuk segera menjauh, lalu mengajaknya menuju gazebo samping tempat pemesanan menu makanan di Grande Cafe.
“Langsung saja, Pakde. Pakde, apa-apaan ngenalin aku dengan cewek modelannya kayak gitu? Udah item, kerdil pula. Ya, memang tak sekerdil kurcaci di dongeng Putri Salju. Cuma apa, ya. Ah, enggak tahu lagi aku mau ngomong apa. Yang jelas, si Ria itu bukan level aku. Sekalipun dia sudah S2 dan berprofesi sebagai guru,” jelas Roni dengan segudang unek-uneknya yang sudah sedari tadi ingin dikeluarkan kepada Pakde Hasan.
Sementara itu, aku yang sengaja mengikuti keduanya berhasil merekam jejak pembicaraan Pakde Hasan dan Roni. Pembicaraan itu amat membuatku sedih. Ya Allah, ingin rasanya aku menangis sekencang mungkin. Namun, apalah daya, aku tidak bisa. Sungguh hatiku hancur setelah mendengar deskripsi buruk yang terucap dari bibir Roni. Namun, semua yang dikatakan Roni benar adanya. Aku memang tak selevel dengannya. Apa gunanya gelar dan profesi yang tinggi kalau aku dilecehkan seperti ini? Ah, sudahlah. Kenapa harus terlihat menyedihkan dan berpikir seperti itu. Toh, sudah ratusan bibir menyatakan hal yang sama.
..........................................................
Sepulang dari Grande Cafe, aku tidak mampir kemana-mana karena langit sudah menunjukkan gelap dan matahari akan segera terbenam. Yang aku ingin hanyalah segera sampai di rumah, menenangkan diri dan menuliskan semua isi hati kepada teman baikku—Love Diary. Semua tentangku, masalahku, dan segala keluh kesah hati, kucurahkan penuh di dalamnya. Tidak ada teman terbaik sepertinya, hanya itu yang bisa mengerti semua tentangku, selain Allah dan keluargaku.
“Loh, loh, loh, kok, nyelonong saja kamu, Nak? Ria, Ria.” Ibu menegurku sembari mengikutiku sampai ke depan pintu kamar.
Kuhela napas panjang, juga kusimpan sejenak air mataku agar tak tumpah di depan ibu. Aku tidak mau beliau sedih dan memikirkan tentangku dan jodohku lagi.
“Ria tidak apa-apa, Bu. Ria hanya lelah dan ingin istirahat,” jawabku setenang mungkin agar Ibu tidak melihat gelagat aneh dari sikapku. Mungkin saja, ibu ingin tahu cerita yang terjadi saat di Grande Café tadi.
“Baiklah, Nak. Istirahatlah.” Ibu bergegas meninggalkanku, membiarkan agar aku istirahat.
Kulepas sling bag yang kupakai tadi, kemudian kubuka Love Diary milikku. Kutumpahkan semua isi hatiku kepadanya. Saat kubercerita dengannya, tak terasa butir air mata menggelinding dan mengenainya. Basah. Tanpa sadar, butir air mata itu tertumpah dengan begitu derasnya. Tak bisa terbendung lagi. Hingga kusadari, aku pun terlelap setelah berjam-jam menangis.
Kulihat detak jam dinding di kamarku sudah menempuh perjalanan panjang. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. Tak terasa aku sudah tertidur cukup lama, hingga waktu Isya pun terlewat sudah. Kubuka mataku perlahan karena sangat berat sekali akibat terlalu lama menangis tadi. Tak lupa aku menunaikan shalat Isya sebagai kewajiban. Di atas sajadah panjang yang aku silahi, aku bermunajat di sana. Menceritakan semua kepada sang pemilik hidup, pemilik takdir sesungguhnya. Allah Azza Wajallah.
Sebelum kubercerita, tangis itu pun kembali pecah, lalu mengalir begitu derasnya. Tak tertahan rasanya. Setelah tangis itu mereda, aku kembali bercerita.
Ya Allah … seberat inikah beban hidupku? Hingga julukan ‘Perawan Tua’ sangat pantas untukku. Sesungguhnya, aku tak ingin menjadi perawan tua seperti yang orang lain katakan. Namun, hamba bisa apa? Hamba hanyalah pemain yang menjalankan skenario hidup, sedangkan Engkau adalah penulis ceritanya. Hamba hanyalah pemain yang pasrah atas skenario yang telah tertulis. Bukankah segala takdir hamba sudah Engkau tulis sedari hamba berusia empat bulan di rahim ibu hamba? Takdir hidup, rezeki, umur, juga jodoh untuk hamba.
Ya, Rab … hamba tidak menyesal terlahir dengan segala kekurangan. Hamba sadar, jikalau banyak laki-laki yang enggan taaruf dengan hamba, mungkin itu karena fisik hamba yang tak terlalu menarik. Hamba begitu kecil, bahkan tak sampai di angka 145 cm. Dengan tubuh yang mungil dan segenap jari-jari yang begitu kerdil, juga wajah yang tak secantik orang-orang normal di luar sana. Kulit hitam dan lidah yang begitu kaku sehingga hamba tidak bisa berbicara secara lentur.
Hamba hanya manusia biasa yang bisa pasrah dengan takdir yang sudah Engkau tulis di Lauhul Mahfudz. Ya Allah … bolehkah hamba bertanya? Benarkah Engkau tidak menciptakan tulang rusuk yang nantinya bisa melengkapi hidup hamba? Bukankah dalam Firman-Mu sudah tertulis jelas dalam surat Q.S Az-Zariyat ayat 49: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Maha benar Allah dengan segala firmannya. Ya Allah … hamba yakin dengan segala takdir juga ketetapan-Mu. Hamba juga yakin Engkau pasti akan memberikan sesuatu yang terindah nanti. Jodoh yang saleh, yang akan menjadi imam untuk hamba. Semoga saja. Insya Allah hamba sabar menunggu, meski hal itu terlampau jauh.
Isak tangis kembali pecah, air mataku masih menderas di atas pipi. Sementara jam sudah menunjukkan waktu dini hari. Aku pun merebahkan diri di atas ranjang sembari memeluk kesunyian.
Penulis: Nur Indah Sutriyah
Editor: Meila Siti Maulidiyah