Kasta yang Berbeda

keributan rumah tangga

Syarifah berusaha menahan diri ketika dirinya resmi menjadi istri Sudirman, juga menjadi bagian dari keluarga besar suaminya. Kehidupan baru yang harus ia tempuh dengan kebesaran hati.

Syarifah baru menikah sekitar satu bulan lalu dan kini ikut bersama suaminya. Untuk sementara, ia harus bersabar dulu untuk tetap tinggal bersama sang mertua. Ucapan demi ucapan buruk dari tetangga tak pernah surut terdengar di telinganya, mengenai perbedaan latar belakang, ekonomi, dan pendidikan Syarifah.

Pasalnya, Syarifah hanyalah tamatan Aliyah, keluarganya juga terbilang kurang mampu. Tidak ada keistimewaan yang bisa ditonjolkan dari keluarganya, ibunya hanya bekerja sebagai tukang cuci baju di desa, sedangkan bapaknya sebagai buruh dan pekerja serabutan sana-sini. Kedua orang tuanya pun tidak lulus sekolah dasar. Syarifah bisa berkesempatan duduk di bangku sekolah juga karena mendapatkan keringanan dari pihak sekolah. Sebab, pemilik sekolah tersebut masih kerabat dekatnya.

Masih menjadi pertanyaan para warga, mengapa keluarga Pak Yani yang kaya raya dan terpandang, bahkan Sudirman anak pertama Pak Yani yang memiliki pendidikan bagus hingga S2 terbaik di Australia dan sebentar lagi akan melanjutkan S3 di kota Madinah, tetapi memilih Syarifah sebagai istri dan menjadi bagian dari keluarganya. Banyak perempuan yang lebih dari Syarifah yang lebih pantas dijadikan istri, yakni yang sepadan dan memiliki kesetaraan ekonomi dengan keluarganya yang memiliki martabat tinggi di mata warga. Mengingat hal itu, ada sesal bagi Syarifah harus menerima Sudirman sebagai suaminya, ia tidak merasakan ketenangan dan kebahagiaan dari siapapun. Di tempat barunya sekarang ini, setiap warga memandangnya sinis dan Syarifah dicap sebagai perempuan matre, menikah hanya menginginkan harta keluarga Pak Yani.

“Kenapa, sih, harus menikahi perempuan seperti itu? Kan, masih banyak yang sekufu (sepadan). Anak saya padahal baru selesai S2 di Jerman,” cibir salah satu tetangganya.

“Pakai pelet apa, sih? Kok wanita seperti itu bisa memikat? Cantik tidak, berpendidikan tidak, miskin iya,” hina tetangganya yang lain.

“Biasa, Jeng, harta.”

“Oh, iya juga, ya, tapi kenapa si Sudirman mau?” Wanita dengan kepala disanggul dan bibir merah merona berbisik sinis ke teman-temannya.

“Ya, mungkin pakai pelet kali,” jawab seorang perempuan baju hijau toska, sambil mencibir dan memutar bibir, seraya memandang Syarifah yang duduk di kursi pelaminan ketika acara ngunduh mantu di rumah Sudirman.

Sebenarnya Syarifah mendengar dan melihat bagaimana tatapan para undangan saat itu. Sudirman menggenggam tangan istrinya, menatap perempuan itu sambil tersenyum meyakinkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Jangan diambil hati, biarkan saja mereka. Nanti juga terbiasa.” ucap Sudirman.

Syarifah hanya tersenyum sambil mengangguk, meski hatinya seperti sedang diobrak-abrik. 

Setiap kali para tamu undangan bersalaman untuk berpamitan karena akan pulang, mereka seakan menatap hina dan enggan menyentuh tangan Syarifah. Namun, karena di depan keluarga Yani, beberapa undangan terpaksa bersikap manis. Apalagi para ibu-ibu yang pernah menawarkan anak gadis mereka, tetapi ditolak oleh Sudirman. Mereka menyangka lelaki itu benar-benar tidak tertarik kepada wanita mana pun selama ini. Sebab, tidak pernah terlihat ada seorang wanita pun yang dibawa dan diperkenalkan Sudirman.

***
Seperti itulah perlakuan para warga sekitar kepada Syarifah, meskipun ia tidak mengenal mereka sebelumnya. Sudah sebulan Syarifah berada di rumah suaminya, tetapi semakin hari perlakuan dan perbincangan dari mulut ke mulut itu semakin membuat ia tertekan. Untungnya mertua Syarifah memperlakukan dirinya dengan baik, meskipun ipar, sepupu, bibi, dan paman Sudirman selalu memandang sinis kepadanya. 

Wajar saja demikian, di keluarga Sudirman, hanya dirinya yang menikahi seorang wanita dari kalangan serba biasa. Semua saudara-saudaranya memiliki pasangan yang setara dalam segi pendidikan, ekonomi, dan status keluarga. Maka sudah tidak heran jika perlakuan ipar-ipar Syarifah berbeda kepadanya, kecuali ibu dan ayah mertua yang selalu baik dan memberikan perhatian tanpa memandang lain Syarifah. Itu pun ia sudah bersyukur, setidaknya masih ada yang menerima keberadaan dirinya di rumah itu.

Hingga suatu hari, karena Syarifah merasa sudah tidak nyaman, ia memberanikan diri untuk berbicara kepada Sudirman agar segera tinggal di rumah mereka sendiri. Bukan di lingkungan Sudirman, setidaknya yang dekat dengan kantor suaminya atau di sekitar rumah orang tua Syarifah.

“Biar kita lebih tenang, Mas. Aku tahu masalahnya bukan di Mas, tapi ada di aku.” Keluh Syarifah tiap kali ia merasa sudah tidak tahan lagi.

“Aku tahu, Fah, beri Mas waktu beberapa minggu untuk mencari rumah. Sabar sedikit, ya,” jawab Sudirman. 

“Dengarkan Mas baik-baik, ya. Kita berumah tangga itu kita yang jalani, bukan mereka.” Sudirman meyakinkan

“Aku tahu, ini masalahnya bukan hanya warga, Mas, tapi adik-adik kamu juga.”

“Mereka belum terbiasa sama kamu, lama-lama juga berubah, kok.” 

Begitulah hingga waktu terus berjalan, hingga enam bulan usia pernikahan Syarifah dan Sudirman, belum juga ada rumah yang dibeli untuk mereka tinggali. Syarifah semakin tertekan dengan perlakuan ipar-iparnya yang semakin menjengkelkan. Mertuanya jarang berada di rumah. Karena itulah mereka yang tidak menyukai Syarifah berusaha keras untuk membuatnya tidak nyaman. Bahkan setiap kali ada acara keluarga, ia dikucilkan dan dianggap rendah. Ipar-iparnya yang kaya harta akan bertingkah dan memamerkan harta-hartanya, serta menjelaskan secara tidak langsung bahwa derajat mereka sangat berbeda. 

Seperti itulah kehidupan rumah tangganya dari hari ke hari. Akhir-akhir ini pun Syarifah sering pulang kampung ke rumah ibunya yang sempit dengan alasan bahwa dirinya sering merasa kesepian, karena tinggal seorang diri di rumah sebesar itu yang letaknya berada di kota. Suaminya sibuk bekerja dan mertuanya pun jarang di rumah. Padahal tidak demikian, wanita itu hanya berusaha menutupi apa yang seharusnya tidak diketahui orang tuanya. 

“Jujur sama ibu, Nak, apa kau diperlakukan baik oleh mereka?” tanya sang ibu.

“Iya, mereka sangat baik, Bu. Mas Sudirman juga baik, kok.” Syarifah terpaksa berbohong demi menutupi kekhawatiran ibu dan bapaknya. Meski demikian, hati Syarifah berteriak sebaliknya.

***
“Mas, ini sudah hampir setahun. Tabungan kita juga sudah banyak, apalagi yang membuat kita untuk tidak segera pindah?” Syarifah bertanya sembari merengek kepada Sudirman.

“Sebenarnya Mas tidak mau pindah, Fah,” jawab suaminya membuat Syarifah hanya terdiam mendengar pengakuan Sudirman. Selama ini tidak ada yang salah dengan Sudirman maupun ibu dan ayah mertuanya, hanya saja ipar yang ada di rumahnya selalu membuat Syarifah tidak tenang.

“Jadi, kita akan tinggal di sini selamanya, Mas? Bukannya adikmu-Lastri-juga tinggal di sini?”

“Apa yang salah dengan adikku, Fah? Rumah ini, kan, besar. Jadi, bisa dibagi-bagi.” Nada bicara suaminya mulai meninggi, Syarifah tidak lagi berani untuk berucap. Ia memutuskan untuk berlalu dan masuk ke kamar.

Setahun sudah pernikahan mereka tanpa dikaruniai seorang anak, bahkan perlakuan mertuanya juga mulai berbeda. Sikap baik dan perhatian yang dulu sempat diberikan kepadanya sekarang mulai pudar, bahkan ikut merendahkan dan menyalahkannya sebagai perempuan tak berguna. Syarifah merasa sudah tidak dibutuhkan lagi keberadaannya di rumah ini. Maka dari itu, Syarifah memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, dan Sudirman tidak mencegahnya sama sekali, bahkan tidak melemparkan satu pertanyaan pun. Setelah mengantar Syarifah ke rumah orang tuanya, lelaki itu hanya diam saja dan langsung berlalu kembali. 

Tak ada yang perlu dirahasiakan lagi. Syarifah yang kini kembali ke rumah orang tuanya, akhirnya menceritakan penderitaan dirinya selama ini yang diperlakukan seperti pembantu oleh ipar-iparnya. Kini, sudah empat bulan ia di sini dan Sudirman tidak pernah datang berkunjung sekalipun. 
 
Hampir menginjak satu tahun setengah pernikahan mereka, semakin hari keharmonisan itu semakin hilang. Sudirman di rumah orang tuanya dan Syarifah yang masih tetap tinggal di kampung. Berjalan lima bulan berada di rumah orang tuanya, Sudirman baru mengunjunginya dan mengajak untuk berbicara empat mata pada Syarifah, seraya meminta maaf karena tidak datang menjenguk karena sibuk bekerja di luar kota. Syarifah tidak banyak menanggapi, ia hanya bertanya apa yang ingin dibicarakan.

“Jadi, begini, Fah. Saat ini kita, kan, sedang tidak cocok satu sama lain, kamu keberatan tinggal di rumah orang tuaku, sedangkan aku juga sulit tinggal di rumah orang tuamu,” ujar Sudirman

“Iya, Mas, sebenarnya bukan keberatan, aku tertekan dengan sikap keluarga Mas terhadap Ifah.”

Sudirman menghela nafas, lalu berkata, “Kita juga tidak bisa selamanya seperti ini, hanya ada satu pilihan, sepertinya kita harus bercerai resmi.” 

Mendengar pernyataan itu, Syarifah hanya memandang tak percaya suaminya. Ia sudah tahu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh Sudirman.

“Mas, semudah itu, ya? Kenapa kamu tidak pernah membelaku ketika keluargamu memperlakukanku tidak baik? Apa kamu juga mulai malu memiliki istri rendah seperti aku? Seharusnya dari dulu kamu jangan nikahi aku jika itu benar.” Syarifah tak mampu menahan isakanya. 

“Maafkan Mas, Fah. Mas sudah mengatakan pada mereka bahwa kamu tidak serendah itu dan mereka tetap―” Belum sempat menyelesaikan apa yang ingin disampaikan, Syarifah sudah lebih dulu memotong ucapannya.

“Tidak apa-apa, Mas, jika memang kita sudah tidak cocok lagi. Keluarga Mas juga sepertinya tidak pernah mau menerima baik Ifah. Tak apa-apa jika kita harus bercerai.”

***
Sejak saat itu dan enam bulan berlalu setelah bercerai, Syarifah tak pernah lagi mendengar kabar Sudirman. Ia berusaha kuat dan tidak ingin mengingat kenangannya bersama suaminya dahulu. Syarifah juga merantau ke luar kota untuk bekerja, demi mengobati lukanya yang mendalam. 

Barangkali itulah pengalaman yang harus diterima Syarifah dalam berumah tangga, meski kerinduan di hatinya tak bisa dibohongi. Sesekali ia terisak saat mengingat betapa lemahnya Sudirman menghadapi keluarganya sendiri, bahkan ketika keluarganya meminta untuk menceraikan dirinya, ia menyanggupi. Syarifah tahu akan hal itu, sebab sebelum suaminya datang, ibu mertuanya berkunjung dan meminta untuk mereka berpisah saja, karena melihat kondisi rumah tangga anaknya yang tidak harmonis selama setahun berjalan, ditambah hasutan demi hasutan tidak benar dari ipar-iparnya dan tetangganya. Hal paling utama adalah Sudirman sudah termakan omongan keluarganya sendiri dan ia tidak bisa berkuasa selain menerima.


Penulis: Riska Widiana
Editor: Meila Siti Maulidiyah

Terima kasih telah membaca di situs Zilenialnews.com. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال