Ikan-Ikan Mengapung

 

Ilustrator: Bisma Raya

Tandas sudah kesabaran Usmi melihat suaminya yang tampak kecanduan memancing ikan di sungai. Demi kesenangan itu, sang suami kerap melalaikan tanggung jawabnya untuk mengurus kebun sayur-mayur mereka. Akibatnya, setiap hari di pasar, Usmi hanya akan menjual sayuran dengan jumlah dan mutu seadanya, hingga keuangan rumah tangga mereka semakin memburuk. 

Atas keadaan itu, mau tak mau, Usmi berkompromi. Demi melariskan sayurannya yang berkualitas rendah ketimbang sayuran pedagang yang lain, ia mematok harga yang murah. Meski cukup berdampak, cara itu masih tak menjamin jualannya akan laku seluruhnya. Ia masih kerap juga memulangkan sebagian sayurannya untuk ia santap sekeluarga, atau ia bagikan secara gratis kepada tetangganya. 

Sebenarnya, Usmi bisa memperoleh penghasilan yang memuaskan dari penjualan sayur-mayur. Ia punya lahan kebun yang luas sebagai warisan dari orang tuanya, yang cocok ditanami beragam sayuran, seperti sawi, kacang panjang, dan terong. Namun, karena suaminya pemalas, sayuran itu tidak terpelihara dengan baik. Keadaanya bahkan semakin memburuk setelah sang suami ketagihan memancing ikan, seturut dengan beberapa pemuda desa.

Sebagai istri, tentu Usmi tidak berpangku tangan saja. Ia ringan kaki ke kebun untuk membantu suaminya mengurus tanaman sayur. Namun, bagaimanapun, yang bisa ia lakukan hanya sekadar membantu, sebab sudah merupakan kelaziman keluarga petani di desa, bahwa suamilah yang memiliki tanggung jawab utama dalam mengurus kebun. Sayangnya, sang suami malah lebih rajin untuk memancing ikan dibanding mengurus kebun.

Setiap kali sepulang memancing, sang suami memang senantiasa membawa dua atau tiga ekor ikan. Namun, nilai ekonomi ikan itu, jelas jauh lebih sedikit dibanding hasil penjualan sayur seandainya sang suami tekun mengurus kebun. Jelas, kalau dikelola dengan baik, hasil perkebunan itu bahkan bisa untuk membeli ikan dengan jumlah berkali-kali lipat dari ikan hasil pancingan tersebut.

Suaminya menang tidak benar-benar lepas tangan dalam urusan perkebunan. Setiap hari, sang suami senantiasa mengunjungi kebun mereka. Namun, sesampainya di kebun, sang suami tak melakukan pekerjaan secara serius. Paling banter, sang suami hanya akan melakukan penyemprotan hama sekenanya, mencabuti rerumputan, atau membenahi pagar pelindung tanaman.

Sungguh, suaminya tidak profesional dalam mengurus kebun. Sang suami tidak mau belajar dan berupaya mencarikan racun dan pupuk yang cocok untuk diaplikasikan pada tanaman sayur mereka. Sang suami bekerja asal-asalan saja, seolah hanya untuk menggugurkan kewajibannya. Sang suami bahkan selalu tak sabar untuk segera meninggalkan kebun demi melakoni kesenangan pribadinya, khususnya memancing ikan.

Tentu Usmi telah berulang kali menasihati sang suami secara lembut agar giat dan tekun bertani, seperti para suami yang lain. Ia kerap mengingatkan sang suami perihal tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah untuk dirinya sebagai istri, dan untuk seorang putra mereka. Namun, serangkaian peringatan baiknya tersebut, sama sekali tak mengubah perangai sang suami. Protes yang keras malah akan membuatnya marah.

Menjengkelkannya lagi, perilaku suaminya itu berpengaruh negatif terhadap anak semata wayang mereka. Putranya itu turut jadi pemalas. Sang putra tampak lebih senang berleha-leha atau bermain-main dengan teman sepantarannya ketimbang membantunya mengurus pekerjaan rumah atau mengurus tanaman sayur. Karena itu, Usmi menanggung beban pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah sekaligus.
 
Atas kenyataan yang memiriskan itu, Usmi kemudian melakukan langkah penelusuran. Ia mencoba mencari tahu perihal sebab kegandrungan suaminya memancing ikan di sungai. Maka dua hari yang lalu, saat masih pagi, ia pun mengendap-endap di kebun-kebun warga. Ia lantas berdiam di balik semak-semak dan mengintip aktivitas memancing sang suami bersama dua kawanannya di bawah naungan sebuah pohon besar di tepi sungai. Hingga akhirnya, seturut dengan gosip yang berembus di tengah desa, ia pun menyaksikan kalau sang suami senang memancing di titik tersebut karena di seberangnya merupakan titik yang kerap menjadi tempat seorang janda muda untuk mandi dan mencuci pakaian. 

Tak pelak, Usmi jadi kesal. Ia kemudian memikirkan cara terbaik untuk menghentikan kebiasaan suaminya itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan mengambil langkah pemungkas. Untuk itu, pagi tadi, ia beranjak ke hulu sungai sembari membawa sebuah ember yang berisi dua botol racun hama. Pada satu titik yang mengatasi aliran sungai di perkampungannya, ia pun menumpahkan racun tersebut secara sembunyi-sembunyi. Dengan cepat, racun itu kemudian menyebar dan menyasar semua sisi aliran.

Detik demi detik terus bergulir, dan ia hanya terus menunggu keadaan yang ia harapkan. Tumpahan racun itu akan menimbulkan dampak secara cepat terhadap makhluk hidup di sepanjang aliran yang beracun. Ikan-ikan pun akan mabuk dan menggelepar di tepian sungai. Perlahan-pahan, ikan-ikan tersebut akan mati dan mengapung. Lalu pada akhirnya, sang suami akan kehilangan sasaran pancingan dan kehilangan alasan untuk kembali bermain kail. 

Lebih dari itu, demi melenyapkan amarah cemburunya, ia berharap racun itu akan membuat keadaan sungai menjadi buruk. Para warga tidak akan mandi di situ, meski untuk sementara waktu, sebab airnya mengandung zat beracun. Pun, para warga tidak ingin mandi di situ selama berhari-hari, sebab bangkai makhluk air akan membusuk dan menguarkan bau tak sedap. Tentu juga, pada kondisi itu, sang janda pun tidak akan berada di titik permandiannya, sehingga suaminya juga tidak akan berhasrat memancing di lokasi favoritnya. 

Benar saja, dalam waktu sekejap, makhluk hidup sepanjang aliran sungai yang beracun, termasuk ikan-ikan, jadi bergelimpangan di pinggir sungai. Menyaksikan keadaan itu, orang-orang lalu berbondong-bondong menangkap dan mengumpulkannya. Meski mereka bisa menaksir kalau ada orang yang telah menumpahkan racun di hulu sungai, mereka tak peduli. Mereka sudah pernah melalui kejadian semacam itu pada tahun-tahun yang lampau, dan mereka merasa tak apa-apa untuk mengolah dan mengkonsumsinya dengan terlebih dahulu membersihkannya baik-baik.

Akhirnya, makin banyak orang yang berlomba-lomba menyusuri tepian sungai ke arah hilir demi mengumpulkan ikan dan udang. Usmi pun turut saja demi menyamarkan kenyataan kalau ia adalah pelaku peracunan aliran sungai tersebut. 

Tak lama kemudian, Usmi pun melihat suaminya yang turut senang berburu tangkapan, seolah tak menyadari kalau ia akan kehilangan alasan untuk memancing esok-esok hari, sebab ikan-ikan akan mati dan butuh waktu untuk proses regenerasi atau bermigrasi. Lalu, pada sisi yang jauh, Usmi juga melihat putranya yang masih duduk di bangku kelas III SD itu turut semangat mengumpulkan bahan lauk-pauk tersebut, seolah berhasrat mengumpulkan sebanyak-banyaknya.

Sampai akhirnya, sebelum tengah hari, Usmi memilih pulang dan mengakhiri penyaruannya. Yang pasti, ia merasa kalau rencananya telah berjalan sempurna. Besok-besok, ia jelas punya alasan yang masuk akal untuk bertanya atau berdebat kalau-kalau sang suami membolos dari urusan pekerjaan kebun untuk pergi memancing ikan di sungai.

Waktu terus bergulir. Dengan cepat, tepian langit di sisi hulu sungai, tampak menggelap. Awan mendung lalu menyebar hingga ke langit desa. Hujan kemudian turun, sangat deras. Usmi duduk saja di teras depan rumahnya dengan perasaan senang, sebab rencananya telah terlaksana sebagaimana harapannya. Dengan ketidaksabaran, ia berhasrat menyongsong hari esok untuk menyaksikan suaminya mengurus kebun dan tak lagi memancing ikan di sungai sembari melirik-lirik seorang janda muda.

Di tengah ketenteramannya, dari teras depan rumah panggungnya, Usmi kemudian melihat satu per satu warga pulang ke rumahnya untuk bebas dari terpaan hujan yang tampak akan berlangsung lama. Sesaat kemudian, suaminya pun datang sambil menenteng sekantong plastik yang ia duga berisi ikan dan udang hasil buruan. Namun, karena hubungan dan komunikasi mereka yang dingin, ia memilih tak melontarkan kata-kata untuk sang suami yang juga diam saja dan berlalu di sampingnya. 

Langit masih menggelap, dan hujan semakin deras. Perlahan-lahan, air sungai jadi tampak berwarna cokelat. Akhirnya, kekhawatiran menjalar di dalam hati Usmi karena putranya yang juga ikut berburu di sungai, belum juga pulang ke rumah. Ia sungguh ingin mengungkapkan keresahannya itu kepada sang suami, tetapi gengsi untuk bersuara lebih dahulu, membuat ia memilih diam. 

Detik demi detik, keadaan sungai tampak makin mengancam dan membahayakan di bawah hujan yang makin menjadi-jadi. Usmi jadi tak bisa lagi membendung kecemasannya. Ia pun makin gelisah setelah menyaksikan suaminya yang duduk anteng saja di dekat jendela ruang keluarga, sembari mengisap rokok. 

Akhirnya, demi anaknya, Usmi meredam egonya dan melangkah mendekati suaminya. Ia kemudian bertanya dengan nada yang datar, "Ario di mana?"

Sang suami mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Mungkin ada di rumah temannya."

Melihat sikap cuek suaminya, Usmi pun semakin kesal. "Tadi, dia ada juga di sungai. Apa Bapak tidak mengkhawatirkannya? Lihatlah, banjir mulai naik. Akan sangat berbahaya jika ia masih menyusuri sungai."

Sang suami malah tampak santai saja. "Dia sudah pandai berenang."

Akhirnya, dengan kedongkolan yang memuncak, Usmi berpaling dan turun dari rumahnya. Ia bertekad mencari dan menemukan putranya. Ia jelas tak ingin terjadi apa-apa dengan putranya akibat perbuatannya yang telah meracuni aliran sungai.

Dengan berbekal payung, Usmi mulai menapaki jalan searah aliran sungai. Ia lalu singgah pada beberapa rumah warga dan menanyai orang-orang perihal keberadaan anaknya. Sampai akhirnya, ia mendapatkan keterangan dari seorang anak laki-laki yang sebaya dengan anaknya tersebut, bahwa sepanjang masa pencarian ikan di sungai, sang anak berkawan dengan anak sang janda yang telah mencuri perhatian suaminya. 

Tak pelak, dengan perasaan yang kacau, ia beranjak ke rumah janda itu. Tak lama berselang, ia pun sampai dengan perasaan syukur, sebab ia benar-benar menemukan anaknya di bawah kolong panggung rumah tersebut. Namun, seketika, kekesalannya memuncak setelah melihat sang janda melayangkan senyuman ke arahnya. Dengan penuh kejengkelan, ia lekas memalingkan wajah dan menarik tangan sang anak untuk pulang.


Penulis: Ramli Lahaping
Editor: Meila Siti Maulidiyah

Terima kasih telah membaca di situs Zilenialnews.com. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال