Sekelumit Kisah Tahanan Politik di Pulau Buru

 

jalan jalan ke pulau buru sungguh elok mentari pagi
Foto: Fotokita.grid.id

Zilenialnews.com - Pulau Buru merupakan salah satu pulau yang masuk dalam wilayah Provinsi Maluku, pulau yang terletak di sebelah barat dari Pulau Seram dan Pulau Ambon. Dengan luas 8.473,2 kilometer persegi, dan panjang garis pantai 427,2 kilometer. Pulau Buru menempati urutan ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan Pulau Seram di Maluku Tengah. Secara umum Pulau Buru berupa perbukitan dan pegunungan. Puncak tertinggi mencapai 2.736 m.

Sekarang ini Pulau Buru dikenal sebagai pulau penghasil kayu putih terbaik di Indonesia. Kualitas kayu putih di Pulau Buru dinilai lebih baik dari pada wilayah penghasil kayu putih lainnya di Indonesia ini menjadikan banyak wisatawan yang bertandang ke sana untuk mencari kayu putih. Banyak wisatawan yang datang ke sana untuk melihat langsung proses pembuatannya hingga membelinya sebagai oleh-oleh.

Kendati demikian pulau ini terkenal sebagai pulau pengasingan bagi para tapol (tahanan politik) pada awal tahun 70-an di zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Daratan Waepo khususnya menjadi salah satu tempat ‘pembuangan’ yang dijadikan pemukiman atau kamp konsentrasi bagi para tahanan politik kasus G30S/PKI.

Proses ‘Pembuangan’

Setelah peristiwa G30S/PKI selain pembantaian banyak juga yang ditahan kemudian diasingkan. Kira-kira sebanyak 250.000 orang ditahan karena terlibat dalam aksi kudeta. Kurang lebih 100.000 dari mereka serta orang-orang yang tidak bersalah masih tetap di dalam penjara dan kamp-kamp konsentrasi. Pemegang otoritas militer saat itu mengklaim bahwa kendala utama untuk membebaskan sejumlah tahanan ini adalah adanya perlawanan dari masyarakat lokal terhadap mereka.

16 Agustus 1967 menjadi tahun pertama pemberangkatan bagi para interniran (tapol kasus PKI tahun 1965) ke Pulau Buru. Sebanyak seribu tahanan politik diangkut lalu ‘dibuang’  ke pulau buru menggunakan kapal militer bernama ADRI XV. Perjalanan laut menggunakan kapal memakan waktu cukup lama untuk sampai ke Pulau Buru. Dua minggu lamanya para tapol harus merasakan mabuk laut dikapal sejak keberangkatan mereka 16 Agustus 1967 dan baru sampai 29 Agustus 1967.

Pada 16 Agustus 1969, dua tahun berselang sejak keberangkatan yang pertama. Kembali diberangkatkannya kapal ADRI XV yang kedua kali untuk mengangkut rombongan para tapol dari nusakambangan ke Pulau Buru. Pengiriman tapol ke Pulau Buru tidak hanya terjadi pada tahun 1967 dan tahun 1969 saja, dalam hal ini ditemukan fakta lain bahwasanya pengiriman tapol ini berlangsung secara bertahap. Seorang tapol bernama Suroto misalnya menyatakan bahwa setelah berpindah-pindah dari penjara satu ke penjara lainnya, pada tahun 1970 merupakan akhir dengan perjalanannya ke Pulau Buru.

Terasingkan 

Ketika rezim orde baru bergulir pemerintah berjerih payah ‘membersihkan’ segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur orde lama dan segala bentuk peran yang bersikap sebagai oposisi. Mereka dijadikannya tahanan politik karena dianggap akan membahayakan rezim orde baru. Banyak dari tapol di tahan tidak melalui proses persidangan sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah secara hukum.

Berkisar pada tahun 1969-1979, pulau buru dijadikannya tempat perasingan bagi para tahanan politik oleh pemerintahan orde baru. Tapol yang ditahan diasingkan ke Pulau Buru kebanyakan adalah orang-orang yang dianggap terlibat dan terindikasi kegiatan G30S/PKI termasuk para pendukung sejati Presiden Soekarno. Pulau ini sudah terstempel sebagai tempat pembuangan para tahanan politik. Pengasingan ini adalah sebuah mekanisme untuk menindas kaum oposisi dari rezim orde baru.

Sepuluh tahun lamanya mereka (para tapol) diasingkan di Pulau Buru untuk melaksanakan perintah dari otoritas militer yaitu mengerjakan apa yang mereka sebut sebagai “proyek pemukiman di Pulau Buru” tanpa di biayai oleh pemerintah saat itu sehingga sesampainya di sana mereka mengerjakan ‘proyek’ itu dengan alat-alat seadanya.

Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru

Dalam pemberangkatan tapol ke Pulau Buru yang kedua Pramoedya Ananta Toer sastrawan Indonesia yang terkenal kerap kali mengkritik pemerintahan orde baru menjadi salah satu tapol di antara rombongan tapol yang akan di kirim ke Pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer ditahan dan diasingkan karena menjadi bagian dari lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang merupakan organisasi sayap kiri dari PKI.

Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya yang berjudul Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, menceritakan “tidak lebih dari tiga hari kemudian pembikinan jalan ini dimulai. Dengan alat-alat yang ada, jalanan selebar 1,5 meter sepanjang 8 kilometer diselesaikan dalam waktu 3,5 hari. Belum sampai peraman tapai jadi, jalanan ini sudah selesai”, kata kapten Daeng Masiga yang juga ikut berkemah bersama para tapol.

Pembuatan Barak dan Ladang di Pulau Buru

Tidak sampai tiga tahun para tapol sebanyak seribu orang berhasil membuka lahan lebih dari lima hektar untuk membuat barak dan ladang pertanian baru. Lahan tersebut mulai ditanami padi yang merupakan tanaman utama untuk pertanian di Pulau Buru. Dalam jangka waktu tiga bulan para tapol yang bercocok tanam secara otodidak mampu menghasilkan panen padi yang berlimpah ruah.

Setelah masa panen tiba meneka menampungnya di lumbung-lumbung padi yang telah mereka bangun sendiri lalu hasil panen akan disetorkan kepada pemerintah melalui tentara. Barak-barak baru pun adalah hasil garapan para tapol selain ladang. Barak dibuat menggunakan kayu dari hasil mengumpulkan dan menebang pohon di hutan yang kemudian mereka setorkan pula kepada pemerintah. Dalam hal ini tapol membangun unit masing-masing mulai dari rumah hingga lahan pertanian.

Selama di Pulau Buru para interniran atau tapol tidak hanya menciptakan lahan dan barak-barak baru namun juga karya-karya seperti furnitur dan kerajinan tangan. Karya tersebut kemudian diekspor dengan jumlah yang terus meningkat oleh pedagang Tiongkok, akan tetapi hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk menyediakan bahan-bahan untuk memperbaiki gubuk dan benih, sedangkan para interniran tersebut tidak memperoleh sama sekali

Penyelewengan Oleh Militer

Pada dasarnya hasil produk atau hasil alam yang didapat para tentara dari interniran harus disetorkan lagi kepada pemerintah pusat. Kendati demikian para tentara menghiraukan aturan tersebut mereka (tentara) malah melakukan penyelewengan. Bentuk penyelewengannya yaitu para tentara tidak mengirimkan produk dan hasil alam kepada pemerintah melainkan kepada pedagang-pedagang dari luar Pulau Buru yang sering mendarat di sana. Banyak para pedagang bertandang ke sana untuk membeli kayu serta hasil panen, tetapi pedagang yang paling terkenalnya pedagang dari suku Bugis.

Melihat penyelewengan yang dilakukan oleh pihak militer membuat para tapol mengikuti jejaknya secara diam-diam. Saat tidak adanya pengawasan dalam bekerja oleh tentara para tapol sering menawarkan kayu kepada pedagang Bugis dari jual beli inilah para tapol dapat menerima tidak hanya uang sebagai gantinya, misalnya garam, hasil laut, dan juga pakaian.

Selama kurang lebih sepuluh tahun para tapol diisolasi di Pulau Buru mereka telah menciptakan sawah dan ladang seluas 3.532,5881 ha, dan dibangun jalan, lingkungan serta arteri sepanjang 175 kilometer, berikut dengan bendungan dan jaringan irigasi. Proyek ini dikerjakan tanpa pembiayaan dari luar dari Repelita (rencana pembangunan lima tahun) ke sekian. Boleh dikata para tapol telah membiayai penahanannya sendiri.


Penulis : Riko Miraj Irawan

Referensi:
Buku Sejarah Nusantara yang di Sembunyikan. Karya Fatimah Purwoko

Terima kasih telah membaca di situs Zilenialnews.com. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال