Hanya Mampu Memandangmu

 





Pagi ini aku mengendarai motor peninggalan ayahku sebelum ia meninggalkan aku dan ibu di dunia. Jam yang ada di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Ya, pagi ini aku akan berangkat bekerja di sebuah kedai yang lumayan besar di salah satu Kota kelahiranku. Kedai yang ku tempati bekerja, buka pada jam delapan pagi.

Hanya dengan 20 menit, motorku sudah berada di area parkiran. Aku masuk ke dalam kedai sambil bersenandung ria.

“Hai Arini,” Sapa rekan kerjaku.

“Oh hai mbak Laura,” Balasku.

Wajar jika mbak Laura tak mengucapkan salam, sebab ia beragama non-islam. Meskipun kita berbeda, namun kita tetap saling menghormati satu sama lain.

Waktu terus kian berjalan, aku dan mbak Laura sibuk berlarian ke sana kemari untuk menghantarkan pesanan beberapa anak muda yang tengah berkunjung di kedai ini.

Di sela-sela pekerjaanku, netraku melihat sosok seseorang yang kian hari kian membuat rasa yang ku ketahui cinta itu kian bertambah. Namanya Yusuf. Dia adalah temanku ketika masih duduk di bangku menengah atas. Berawal dari rasa kagumku, kini rasa itu telah sampai puncaknya yaitu rasa cinta. Namun aku harus dan bahkan wajib untuk sadar diri. Aku hanyalah orang biasa yang bekerja sebagai pelayan. Sedangkan dia, anak orang terpandang dan berada. Sangat naif jika aku memaksakan rasaku ini.

Ku hampiri ia yang masih sibuk dengan ponselnya.

“Suf, hendak pesan apa kamu?” tanyaku dengan menahan desiran di dadaku.

“Eh Arini, aku memesan americano satu sama jus anggur satu ya,” Balasnya dengan lembut. Membuat lawan bicaranya serasa sedang berhadapan dengan pangeran penghuni surga.

Aku hanya menganggukkan kepala saja. Karena aku sudah tak tahan berada di dekatnya. Seakan-akan jantungku akan lompat dari tempatnya.

Setelah membuat pesanan Yusuf, aku hendak mengantarkannya. Namun, pemandangan di depanku seakan-akan membuatku mati pada saat itu juga. Selama ini Yusuf pergi ke kedai ini selalu sendiri. Ini pertama kalinya Yusuf datang ke kedai dengan seorang perempuan yang parasnya sangat menawan. Jika dibandingkan denganku pun rasanya seperti bumi dan langit.

Aku berusaha menahan air mataku sekuat-kuatnya. Aku berharap semoga wanita itu bukanlah calon istri atau pacarnya Yusuf. Aku mencoba menepis pikiran-pikiran burukku tentang mereka berdua.

“Suf, ini pesananmu. Americano satu dan jus anggur satu,” Aku meletakkan dua menu yang Yusuf pesan.

“Terima kasih Rin. Oh ya Rin, aku boleh minta waktumu sebentar?”.

Aku duduk di kursi kosong yang ada di sebelah wanita cantik itu. Kupandangi penampilan sempurnanya. Dari mulai hijab yang menutup rambutnya hingga ujung sepatunya yang indah.

“Terima kasih Rin. Ini aku mau kasih kamu undangan. Datang ya, Rin. Kamu juga kan temanku dan kenalin ini Shafira. Calon makmumku dan juga calon ibu dari anak-anakku kelak,” ucap Yusuf

Badanku lemas seketika. Laki-laki yang aku kagumi dan cintai dari SMA, sekarang akan melabuhkan hatinya pada wanita lain selain aku. Seharusnya aku tahu tentang hal ini. Kenapa aku begitu gegabah dan percaya diri?

Dadaku seperti tertusuk belati berkali-kali. Air mataku ingin ku tumpahkan detik itu juga, namun masih ku pertahankan. Cinta yang ku rahasiakan kini tak kan mampu ku suarakan. Duniaku seakan-akan berhenti pada porosnya. Karena Yusuf.

“Hai, kenalin aku Shafira. Senang bertemu dengan kamu”. Senyuman yang lebar dan manis ia tampilkan dalam layar mataku.

Tangan perempuan yang bernama Shafira itu membelai lembut pundakku dan menyadarkanku dari lamunanku.

“Hai juga, aku Arini temannya Yusuf saat SMA,” Dengan gemetar aku menjawabnya.

Aku pun pamit undur diri dari hadapan mereka berdua. Aku tak ingin mati berdiri di depan mereka. Aku berlari ke toilet dan memandang undangan yang berada dalam genggamanku.

“Ya Allah...

Mengapa Kau uji hamba seperti ini?

Apa hamba terlalu hina untuk umatmu yang baik?

Ya Allah...

Cinta yang aku rahasiakan selama bertahun-tahun mengapa harus berakhir dengan setragis ini?

Bunuh aku detik ini juga Tuhan...

Apa Kau ciptakan dia hanya untuk ku pandangi saja? Apa Engkau tak bisa membuat tulisan takdirku bersamanya Ya Allah?”.

Ku pandang kembali undangan itu dengan nanar kekecewaan yang teramat mendalam. Aku berucap dalam hatiku “mungkin selama ini Tuhan hanya mengizinkanku untuk memandangimu saja bukan untuk memilikimu”.


Penulis: Ilma Zakiatur Rofi'ah

Terima kasih telah membaca di situs Zilenialnews.com. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال