Foto: detakusk.com |
Kendati demikian media yang merupakan arus utama terbelunggu oleh aturan dan undang-undang yang membatasi kritik terhadap rezim pemerintahan Presiden Soeharto atau yang biasa dikatakan sebagai masa orde baru. Saat itu masih banyak orang yang berani bersuara demi mengubah tonggak haluan pers menjadi lebih baik, mulai dari sinilah sedikit demi sedikit dan pelan tetapi pasti media alternatif muncul untuk mulai bersuara meski selalu saja di bredel.
Wiji thukul contohnya seorang penyair puisi yang berani mengkritik keras kepada para penguasa melalui puisi-puisinya yang satire dan sarkas terhadap pemerintah. Akibat dari perbuatannya yang dinilai terlalu berani, mempersuasi, dan bahkan memprovokasi publik untuk menekan pemerintah Wiji diburu, sampai-sampai dia harus melakukan pelarian tanpa henti hingga hilang tanpa kabar.Semasa era Presiden Soeharto menjabat sejak 1967-1998 adalah masa-masa terkelamnya dunia jurnalistik atau pers. Orang-orang yang bekerja dibidang jurnalistik atau di media mengalami banyak ketakutan merasa terintimidasi bahkan pada masa itu universitas-universitas yang menyediakan fakultas dan jurusan yang berhubungan dengan dunia jurnalistik kurang diminati (tidak laku).
Mahasiswa yang menekuni bidang jurnalistik kerap kali dicemooh banyak orang karena lulus kuliah, lalu menjadi wartawan bukanlah suatu pekerjaan yang menjanjikan pada masa itu. Dinilai “gila” jikalau seseorang mempunyai cita-cita untuk menjadi wartawan. Mahasiswa jurnalistik lebih mengepentingkan pemikiran tentang bersuara sesuai fakta daripada memikirkan tentang cara berpakaian yang elegan, keren, dan terhormat. Maka dari itu mahasiswa jurnalistik sering jadi bulan-bulanan dari mahasiswa jurusan lainnya karena cara berpakaian mereka yang dikenal kumuh, lusuh, dan tidak mencerminkan seorang mahasiswa teladan.
Semenjak berakhirnya rezim Soeharto pada tahun 1998 dan melahirkan era reformasi dinamika dapur redaksi di berbagai media makin menunjukkan objektivitasnya dalam menghasilkan berita yang aktual, faktual, serta kredibilitas. Karena memang seperti itulah media bekerja dalam dunia kejurnalistikan, media harus bisa menjadi pengingat dan penegur bagi pemerintah yang menyalahgunakan wewenangnya sebagai penguasa lewat berbagai pemberitaan karena dunia jurnalistik berfungsi sebagai peringatan dini bagi kebijakan pemerintah yang baru maupun yang sudah ada.
Era reformasi adalah masa keemasan bagi para pegiat jurnalistik. Reformasi merupakan sebuah perubahan besar bagi tonggak haluan dunia jurnalistik, kebebasan pers dan kebebasan bersuara mulai digaung-gaungkan sangat keras diera ini, media arus utama yang dahulu sangat terbelunggu oleh regulasi rezim saat itu kini mulai menemukan jati dirinya sebagai media pemberitaan yang faktual serta aktual meski masih ada dalam batasannya mengingat para memilik media arus utama adalah para elite politik negeri ini (para pemilik partai).
Pada zaman yang serba yang canggih ini makin banyak bermunculan media alternatif akan tetapi banyak juga buzzer-buzzer bertebaran sebagai lawannya. Buzzer-buzzer inilah yang dinilai oleh publik dan para pelaku media sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menutupi mulut-mulut media secara halus tanpa harus pemerintah turun tangan secara langsung.
Media alternatif bisa makin berkembang sebenarnya karena media arus utama itu sendiri yang masih dikendalikan dan ditunggangi oleh pemerintah meski tidak sekeras dahulu. Pemerintahpun pada dasarnya masih berusaha “sedikit membungkam” para awak media dengan cara sehalus mungkin agar tidak terjadi seperti kejadian-kejadian di orde baru, banyak berita yang sengaja dibuat lalu di naikan untuk menutupi kasus yang ada atau kerap kali disebut pengalihan isu.
Pengalihan isu dengan cara menggantikan kasus besar dengan berita yang besar lainnya memerlukan tenaga-tenaga penggerak, tenaga penggerak inilah yang disebut dengan buzzer tanpa adanya buzzer berita tak akan bisa membeludak dan terangkat, maka dari itu pemerintah sangat berkaitan dan bersinergi dengan para buzzer ini.
Reformasi seharusnya menjadi masa kejayaannya pers tetapi nyatanya tidak begitu masih banyak para elite politik yang mempunyai kepentingan pribadi yang tak mau terliput media dan diketahui publik. Dampak ketidak transparannya pergerakan pemerintah membuat korupsi makin merajalela dinegeri ini.
Media pemberitaan dan persurat kabaran berperan penting dalam berkembangnya kejujuran pemerintah atas segala tindakannya. Media menjadikan pergerakan pemerintah menjadi lebih transparan maka kebebasan pers atas peliputan yang bertanggung jawab harus terus di gaungkan guna menjalankan pemerintahan yang bersih dan jujur. UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers bisa menjadi tameng dan acuan dasar atas kebebasan besuara.
Melihat persoalan yang terus mengkesudutkan pers tidak ada habis-habisnya kita tetap patut mensyukuri atas apa yang telah tercipta pada masa reformasi ini. Meski media arus utama dinilai tidak netral dalam suatu bemberitaan apalagi perberitaan jelek terhadap partai yang mempunyai media tersebut, media alternatif lahir untuk terus menyuarakan kebenaran secara objektif, netral, dan tidak berpihak.
Buzzer memang menjadi salah satu tameng bagi para penguasa serta penghalang dalam pemberitaan media yang faktual tetapi hal ini tidak menghalangi media alternatif untuk terus berteriak kepada kebenaran yang hakiki. Dikala media arus utama hanya bisa diam disitulah fungsi seutuhnya media alternatif maju untuk menggantikan peran besar media arus utama dari kebisuan atas konflik yang ada.
Referensi:
Buku filsafat jurnalistik penulis : Dr A.S. Haris Sumadiria, M.Si.
Tags
Artikel